
Ada satu hal yang selalu menarik perhatian saya setiap kali berbicara tentang kehidupan bernegara: hubungan antara hukum dan politik di Indonesia. Dua kata ini—“hukum” dan “politik”—seolah punya hubungan yang rumit, seperti dua sahabat lama yang saling membutuhkan, tetapi juga sering bertentangan arah. Hukum seharusnya menjadi pedoman tertinggi dalam bernegara, sementara politik adalah instrumen untuk mencapai kekuasaan dan mengatur masyarakat. Namun dalam praktiknya, garis antara keduanya kerap kabur.
Saya sering merenung, apakah hukum di Indonesia benar-benar berdiri di atas semua kepentingan, atau justru menjadi alat kekuasaan bagi segelintir orang yang pandai memainkan panggung politik?
Awal Mula: Hukum dan Politik dalam Bingkai Konstitusi

Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, para pendiri bangsa kita menuliskan cita-cita besar dalam Pembukaan UUD 1945. Di sana tertulis tujuan yang begitu luhur: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara ideal, konstitusi itu dirancang agar hukum menjadi penuntun dalam setiap kebijakan politik, bukan sebaliknya Hukum online.
Namun realitas tidak semudah teks konstitusi. Setelah proklamasi, politik menjadi arena perebutan legitimasi—siapa yang berhak menafsirkan dan menjalankan hukum. Hukum yang seharusnya menjadi “penjaga moral negara” sering kali justru ditarik-tarik oleh kepentingan politik. Sejak masa Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, hingga Reformasi, hubungan antara hukum dan politik di Indonesia terus berubah warna, namun tetap menunjukkan satu pola: kekuasaan selalu mencoba menundukkan hukum.
Era Soekarno: Ketika Politik Menjadi Panglima
Di masa Presiden Soekarno, politik nasional sangat kental dengan semangat ideologis. Konsep “Demokrasi Terpimpin” menempatkan negara di bawah satu kendali pusat. Pada masa itu, hukum sering kali dijadikan alat untuk menjaga stabilitas dan memperkuat legitimasi politik.
Misalnya, ketika DPR hasil pemilu 1955—yang dianggap sebagai pemilu paling demokratis saat itu—dibubarkan oleh Soekarno dan digantikan dengan DPR-GR (Gotong Royong), keputusan tersebut tentu punya dasar politik yang kuat. Secara hukum, tindakan itu kontroversial, namun dalam kacamata politik kala itu, langkah tersebut dianggap perlu untuk “menjaga revolusi”.
Di titik ini, kita mulai melihat bagaimana politik mendikte hukum. Idealitas konstitusi tentang pembagian kekuasaan mulai tergerus oleh narasi stabilitas dan kepemimpinan tunggal. Dalam narasi sejarah, kita diajarkan bahwa hukum ada untuk melindungi rakyat, tapi di masa itu hukum sering kali justru melindungi kekuasaan.
Orde Baru: Ketika hukum dan politik Dibungkam demi Stabilitas
Memasuki era Soeharto, hubungan hukum dan politik berubah arah—lebih halus, tapi tidak kalah kuat. Orde Baru dikenal dengan semboyannya: stabilitas nasional demi pembangunan ekonomi. Namun di balik slogan itu, hukum sering kali berperan sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Saya masih ingat cerita ayah saya tentang masa itu. Ia bilang, di era Orde Baru, berbicara soal politik harus hati-hati. Semua serba diatur, mulai dari partai politik hingga kebebasan pers. Undang-undang diciptakan bukan untuk menantang kekuasaan, tapi untuk memperkuatnya.
Contohnya, Undang-Undang Subversif yang sering digunakan untuk membungkam lawan politik. Hukum menjadi semacam pagar yang melindungi kekuasaan dari ancaman rakyatnya sendiri. Di satu sisi, hukum tampak kuat—ada peraturan yang jelas, sistem pemerintahan yang rapi. Tapi di sisi lain, roh keadilan justru hilang karena hukum tidak lagi berpihak kepada kebenaran, melainkan kepada kepentingan.
Orde Baru memberi pelajaran pahit tentang bagaimana hukum bisa kehilangan makna ketika dijadikan instrumen politik. Dan ironisnya, setelah reformasi pun, pola itu belum sepenuhnya hilang.
Reformasi: Ketika Harapan dan Realitas Bertemu
Tahun 1998 menjadi tonggak besar dalam sejarah hukum dan politik Indonesia. Rakyat turun ke jalan, menuntut perubahan, menuntut keadilan, dan menolak kekuasaan yang terlalu lama bersemayam di satu tangan. Reformasi membuka jalan bagi amandemen konstitusi, desentralisasi kekuasaan, serta lahirnya lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Secara ideal, era Reformasi adalah masa ketika hukum mulai naik kembali ke posisi tertingginya. Politik mulai dikontrol melalui aturan main yang jelas, dan hukum diharapkan menjadi penyeimbang kekuasaan. Tapi, seperti pepatah lama, “jalan menuju keadilan tidak pernah mulus.”
Meski sistem hukum semakin transparan, permainan politik justru menjadi lebih kompleks. Hukum kini bukan hanya soal benar atau salah, tetapi juga soal siapa yang bisa menguasai narasi publik, media, dan opini masyarakat. Banyak kasus hukum besar yang akhirnya bergeser menjadi perdebatan politik, bukan lagi murni masalah yuridis.
KPK dan Mahkamah Konstitusi: Harapan dan Tantangan
Dua lembaga ini—KPK dan MK—menjadi simbol harapan besar rakyat Indonesia terhadap supremasi hukum. Saya masih ingat bagaimana antusiasme masyarakat saat KPK pertama kali berdiri. Banyak yang percaya bahwa akhirnya ada lembaga yang berani menyentuh “orang-orang besar”.
Namun, seiring waktu, politik kembali menembus dinding hukum. Beberapa revisi undang-undang KPK, misalnya, dianggap melemahkan independensi lembaga itu. Kasus-kasus besar yang dulu ditangani dengan tegas kini mulai terlihat “lunak”.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi, juga tak lepas dari sorotan. Putusan-putusan MK belakangan sering memicu perdebatan publik—ada yang menilai putusan itu bermuatan politik, ada pula yang melihatnya sebagai bentuk tafsir hukum yang terlalu lentur terhadap kekuasaan.
Melihat dinamika ini, saya jadi sering berpikir: apakah di Indonesia hukum memang tidak bisa benar-benar steril dari politik?
Realitas Kekuasaan hukum dan politik: Ketika Hukum Masih Pilih Kasih

Dalam keseharian, kita sering mendengar istilah “tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Kalimat ini mungkin terdengar klise, tapi sayangnya masih relevan hingga hari ini. Banyak kasus di mana rakyat kecil harus menerima hukuman berat atas kesalahan kecil, sementara mereka yang punya kuasa sering lolos dari jerat hukum.
Contoh yang paling sering muncul tentu kasus korupsi. Ada yang divonis ringan meski merugikan negara miliaran rupiah, sementara rakyat kecil bisa dipenjara karena mencuri buah atau ayam. Ironis, bukan?
Di sinilah letak masalah utama hukum dan politik di Indonesia: tidak konsisten dalam menerapkan keadilan. Idealitas konstitusi kita jelas—semua warga negara sama di hadapan hukum. Tapi dalam praktik, realitas kekuasaan sering menutupi prinsip itu dengan lapisan kepentingan.
Politik Hukum: Antara Cita dan Fakta
Dalam teori hukum tata negara, dikenal istilah politik hukum, yaitu arah kebijakan hukum yang diambil negara untuk mencapai tujuannya. Idealnya, politik hukum berfungsi untuk memperbaiki sistem hukum agar lebih adil dan berpihak pada rakyat. Namun di Indonesia, politik hukum sering kali menjadi ajang kompromi antara kepentingan kelompok.
Contohnya bisa dilihat dari proses pembuatan undang-undang. Banyak rancangan undang-undang (RUU) yang disusun dengan cepat, tanpa partisipasi publik yang memadai. Bahkan kadang, ada pasal-pasal yang “disisipkan” demi keuntungan pihak tertentu.
Fenomena ini menunjukkan bahwa politik hukum kita belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat, melainkan pada siapa yang punya kuasa untuk menentukan arah kebijakan.
Peran Media dan Opini Publik
Dalam era digital seperti sekarang, media juga memainkan peran besar dalam membentuk persepsi hukum dan politik. Banyak kasus hukum yang “dihukum” dulu di media sosial sebelum diputuskan di pengadilan. Publik bisa sangat cepat menilai seseorang bersalah hanya berdasarkan potongan berita atau video singkat.
Di sisi lain, media juga menjadi alat politik baru. Narasi hukum bisa dibentuk sedemikian rupa untuk mendukung atau menjatuhkan pihak tertentu. Kadang, hukum tak lagi diukur dari bukti dan fakta, tapi dari seberapa kuat pengaruh opini publik.
Baca juga fakta seputar : Blog
Baca artikel menarik tentang : Mobil Hybrid Terbaru: Cara Saya Menghemat Bensin Tanpa Harus Ganti ke Mobil Listrik







